Pakaian bukan merupakan barang habis pakai tapi dewasa ini dia sudah menjelma menjadi fast moving good dimana tingkat perputarannya sangat tinggi sehingga pada akhirnya pakaian sudah seperti barang habis pakai (disposable good) yang hanya sekali dipakai lalu “dibuang” dan inilah yang saat ini dikenal dengan istilah fast fashion yaitu kondisi dimana pakaian diproduksi secara masif dan tidak memperhatikan lingkungan, dijual murah dan dipakai layaknya barang habis pakai.
Fast fashion sudah terjadi saat ini karena setelah era revolusi industri ketika mesin-mesin industri mulai banyak dibuat dan varian bahan sintetis banyak ditemukan, memproduksi pakaian dalam jumlah banyak bukanlah hal yang sulit. Pabrik tekstil dan pabrik garmen dengan kapasitas produksi raksasa berandil besar menciptakan fast fashion dan brand – brand international ternama yang memiliki kemampuan finansial dan jaringan retail yang banyak turut menumbuhsuburkan kultur fast fashion.
Kondisi industri fashion di Indonesia juga tidak terlepas dari kultur fast fashion. Penyebabnya bukan semata karena produksi pakaian di dalam negeri tetapi diperparah dengan merajalelanya pakaian impor yang dijual murah maupun ekspansi brand international di pasar Indonesia. Saat ini kita bisa menemukan dengan mudah pakaian dijual dengan harga sangat murah di toko offline, toko online maupun marketplace bahkan harganya cenderung tidak masuk akal karena saking murahnya. Hitungan matematis biaya produksi dan margin keuntungan sudah diluar nalar, begitu murah dan begitu tipis. Hal tersebut diperparah dengan perilaku konsumen yang memang mendambakan harga murah tanpa mempedulikan bagaimana dan dimana produknya dibuat sehingga terciptalah simbiosis mutualisme antara produsen dan konsumen yang mendukung fast fashion tapi disisi lain menjadi parasit bagi ekosistem bisnis fashion yang sehat dan ramah lingkungan. Perang harga telah menciptakan lautan merah (red ocean) di industri fashion yaitu kondisi ketika produsen berlomba-lomba menekan biaya produksi dengan menggunakan material kualitas rendah, menggaji pekerja dengan murah, memproduksi sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya dan menekan margin setipis-tipisnya. Konsumen sudah pasti akan berbahagia tapi sejatinya ada yang teraniaya yaitu pekerja dan lingkungan.
Fast fashion memiliki kontribusi besar dalam menciptakan kondisi kerja yang tidak ideal di industri garmen dan konveksi untuk skala kecil. Upah kecil, jam kerja yang tidak manusiawi, kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman hanyalah sebagian dari dampak negatif fast fashion bagi pekerja. Fast fashion dianggap hanya menguntungkan konsumen dan produsen/pemodal pemilik industri garmen/konveksi tapi tidak bagi pekerjanya.
Fast fashion juga mempunyai andil besar dalam peningkatan pencemaran lingkungan. Limbah industri tekstil dan garmen banyak yang mencemari lingkungan sekitarnya. Selain itu, peningkatan penggunaan bahan sintetis yang merupakan derivatif dari bahan bakar fosil membuat limbah pakaian tidak gampang terurai dan tidak ramah lingkungan.
Dari uraian tersebut diatas, terlihat jelas bahwa fast fashion memiliki implikasi negatif bagi keberlangsungan industri fashion, kesejahteraan pegawai dan kondisi lingkungan. Apabila kondisi ini dibiarkan, fast fashion tentu cepat atau lambat akan memakan korban, baik pelaku industri fashion sendiri maupun kondisi lingkungan secara umum. Pertanyaan besarnya adalah apakah kita peduli dengan kondisi ini dan apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya? Kepedulian dan concern kita tentu menjadi fondasi dan langkah awal yang besar karena sebagian orang mungkin tidak akan peduli dan cenderung akan nyaman untuk selalu menjadi seorang oportunis, yang penting harganya murah. Langkah nyata berikutnya adalah ikut menciptakan, mengkampanyekan, dan mendorong kondisi industri fashion yang sehat dengan mendukung brand – brand lokal yang secara nyata banyak berkontribusi dengan memberdayakan banyak pekerja yang digaji dengan layak dan menghasilkan karya-karya kreatif yang luar biasa.
Tidak selayaknya suatu produk hasil kreatifitas dan kerja keras dihargai sangat murah karena membuatnya membutuhkan proses dan itu harus dihargai secara adil dan layak. Disitulah simbiosis mutualisme sejati terjadi, konsumen mendapatkan produk dengan kualitas dan harga terbaik, produsen mendapatkan imbalan sepadan sehingga bisnisnya bisa terus berjalan berkesinambungan, berkembang dan membuka makin banyak kesempatan pekerjaan kepada yang membutuhkan.
Belilah pakaian sesuai kebutuhan, jangan bangga dengan menumpuknya pakaian di lemari tapi berbanggalah jika kita hanya menyimpan pakaian yang memang kita butuhkan dan kita bagikan sisanya kepada yang lebih membutuhkan.